Setiap tanggal 10 November, negeri ini kembali menunduk sejenak. Bukan karena lelah, tapi karena rindu. Rindu pada suara-suara yang dulu berani melawan ketakutan, pada langkah-langkah yang menapaki tanah ini tanpa tahu apakah masih bisa pulang. Kita menyebut mereka pahlawan, meski sejatinya mereka hanyalah manusia biasa yang memilih untuk tidak biasa. Mereka takut ? tentu saja. Mereka rindu rumah, ingin hidup panjang, ingin tertawa seperti kita. Namun ada sesuatu yang lebih besar dari diri mereka: cinta pada tanah air, yang membuat mereka rela kehilangan segalanya. Di balik kisah besar tentang peperangan dan kemenangan, selalu ada cerita kecil yang sering luput dari sorotan: tentang seorang ibu yang menunggu dalam cemas, tentang anak yang kehilangan sosok ayah sebelum sempat mengingat wajahnya, tentang tanah air yang tumbuh dari air mata dan doa yang panjang. Hari ini, ketika kita bangun di pagi yang tenang, udara yang kita hirup adalah hasil dari perjuangan yang tak terlihat. Tidak ad...
Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan oleh kisah tragis, seorang pemuda dipukuli hingga meninggal dunia di dalam masjid, tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi siapa pun yang mencari ketenangan. Ia hanya ingin menumpang tidur, tapi justru kehilangan nyawanya di rumah Allah. Peristiwa ini bukan sekadar berita kriminal. Ia menampar nurani kita sebagai umat. Sebab, kalau kita menengok ke masa Rasulullah ﷺ , masjid bukan hanya tempat sujud tapi rumah bersama bagi siapa pun yang datang dengan hati lelah. Masjid di Zaman Nabi ﷺ : Rumah Bersama, Bukan Sekadar Tempat Salat. Di masa Rasulullah ﷺ , masjid adalah pusat kehidupan umat: tempat ibadah, tempat belajar, tempat bermusyawarah, tempat menerima tamu, hingga tempat berlindung bagi mereka yang tak punya rumah. Salah satu contohnya adalah Ashabus Suffah sekelompok sahabat miskin yang tinggal di serambi Masjid Nabawi. Mereka tidur, makan, dan belajar di sana, tanpa pernah diusir. Rasulullah ﷺ bukan hanya membiarkan mereka tingg...