Langsung ke konten utama

Selamat Hari Pahlawan : Tentang Mereka yang Tak Pernah Pulang dengan Sia-sia

Setiap tanggal 10 November, negeri ini kembali menunduk sejenak. Bukan karena lelah, tapi karena rindu. Rindu pada suara-suara yang dulu berani melawan ketakutan, pada langkah-langkah yang menapaki tanah ini tanpa tahu apakah masih bisa pulang.

Kita menyebut mereka pahlawan, meski sejatinya mereka hanyalah manusia biasa yang memilih untuk tidak biasa.
Mereka takut ? tentu saja. Mereka rindu rumah, ingin hidup panjang, ingin tertawa seperti kita. Namun ada sesuatu yang lebih besar dari diri mereka: cinta pada tanah air, yang membuat mereka rela kehilangan segalanya.

Di balik kisah besar tentang peperangan dan kemenangan, selalu ada cerita kecil yang sering luput dari sorotan: tentang seorang ibu yang menunggu dalam cemas, tentang anak yang kehilangan sosok ayah sebelum sempat mengingat wajahnya, tentang tanah air yang tumbuh dari air mata dan doa yang panjang.

Hari ini, ketika kita bangun di pagi yang tenang, udara yang kita hirup adalah hasil dari perjuangan yang tak terlihat. Tidak ada lagi dentuman senjata, tidak ada darah yang menodai bumi, namun perjuangan belum benar-benar usai, hanya bentuknya yang berubah.

Dulu, musuh datang membawa senjata. Kini, ia datang dalam rupa kemalasan, keputusasaan, dan ketidakpedulian. Dulu, mereka berjuang menegakkan kemerdekaan. Kini, kita berjuang menjaga maknanya agar tak lapuk oleh waktu dan kenyamanan.

Menjadi pahlawan di zaman ini bukan lagi soal berperang,
melainkan tentang berani berbuat baik di tengah dunia yang sering sinis. Tentang jujur ketika dusta lebih mudah. Tentang bertahan dalam kebaikan meski terasa sendirian. Tentang tidak menyerah pada hidup, karena kita tahu, ada yang dulu mati supaya kita bisa hidup. Maka, Hari Pahlawan bukan sekadar tanggal merah di kalender, melainkan ruang kecil untuk mengingat bahwa keberanian tak selalu berwujud besar. Kadang ia hadir dalam langkah sederhana: seorang guru yang terus mengajar meski gajinya tak seberapa, seorang petani yang tetap menanam meski harga panennya sering jatuh, seorang anak muda yang menolak menyerah pada kerasnya hidup.

Pahlawan sejati adalah mereka yang tak butuh panggung, karena mereka tahu, perjuangan sejati tak selalu dilihat, tapi dirasakan dari kehidupan yang tetap berjalan, dari negeri yang masih bisa bernapas damai hari ini. Dan mungkin, di dada setiap manusia, masih tersimpan bara kecil dari keberanian yang sama. Api yang diwariskan dari mereka yang tak pernah pulang dengan sia-sia. Tugas kita kini hanya satu: menjaganya agar tak padam.


Puisi: “Kepada yang Gugur, Tapi Tak Pernah Hilang”

Ada nama yang tak lagi disebut,
tapi tetap hidup di antara hembusan angin pagi.
Ada langkah yang berhenti di medan perang,
tapi jejaknya menumbuhkan negeri.

Mereka tak meminta dikenang,
hanya ingin perjuangan mereka diteruskan.
Mereka tak ingin disembah,
hanya berharap kita tak lupa bagaimana cara mencinta tanah air dengan tulus.

Maka jika hari ini kau merasa lelah,
Ingatlah, ada yang dulu lebih lelah,
tapi tak berhenti karena tahu,
ada masa depan yang menunggu di balik pengorbanannya.

Selamat Hari Pahlawan.
Untuk mereka yang telah gugur demi hidup kita,
dan untuk kita yang masih belajar menjadi pahlawan,
dalam sunyi, dalam sepi,
dalam perjuangan yang mungkin tak terlihat,
namun tetap berarti. 🌺

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Masjid Kehilangan Maknanya

Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan oleh kisah tragis, seorang pemuda dipukuli hingga meninggal dunia di dalam masjid, tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi siapa pun yang mencari ketenangan. Ia hanya ingin menumpang tidur, tapi justru kehilangan nyawanya di rumah Allah. Peristiwa ini bukan sekadar berita kriminal. Ia menampar nurani kita sebagai umat. Sebab, kalau kita menengok ke masa Rasulullah ï·º , masjid bukan hanya tempat sujud tapi rumah bersama bagi siapa pun yang datang dengan hati lelah. Masjid di Zaman Nabi ï·º : Rumah Bersama, Bukan Sekadar Tempat Salat. Di masa Rasulullah ï·º , masjid adalah pusat kehidupan umat: tempat ibadah, tempat belajar, tempat bermusyawarah, tempat menerima tamu, hingga tempat berlindung bagi mereka yang tak punya rumah. Salah satu contohnya adalah Ashabus Suffah sekelompok sahabat miskin yang tinggal di serambi Masjid Nabawi. Mereka tidur, makan, dan belajar di sana, tanpa pernah diusir. Rasulullah ï·º bukan hanya membiarkan mereka tingg...

Big Why Ngeblog

Alasan terbesar saya untuk ngeblog adalah untuk menjaga konsisten dalam menulis. Selain alasan konsisten, alasan lainnya adalah supaya tulisan-tulisan yang saya tulis dapat bermanfaat bagi orang lain. Dengan bergabung di berbagai komunitas menulis, harapannya tulisan-tulisan yang saya tulis, seiring dengan berjalannya waktu dapat lebih baik dan bisa bermanfaat bagi orang banyak.  Saya suka menulis sejak saya duduk di kelas enam sd, waktu itu tulisan-tulisannya masih tidak jelas, terkadang menulis pantun, cerita bahkan menulis sesuatu yang tidak jelas dan tidak ada endingnya, sampai sekarang pun buku-buku tersebut masih ada, dan jika dibacanya rasanya diri ini selalu ingin tertawa hehe. Mungkin tulisan-tulisan dulu yang layak dibaca hanyalah sebuah pantun, bukan karya tulis yang lain. Dulu, ketika aku ingin menulis, seringkali tulisanku tidak pernah terarah, aku menulis dengan apa yang selalu aku inginkan disaat itu, hingga ending dan alur ceritanya tidak jelas. Bulan desember ...

Yayasan Pondok Pesantren Nuris Salafiyyah

- Mengenal Tentang Yayasan Pondok Pesantren Nuris Salafiyyah  Yayasan Pondok Pesantren Nuris Salafiyyah. Terdiri dari dua lembaga yaitu Pondok Pesantren Nuris Salafiyyah dan Ma’had An-Najaa Islamic Boarding School. Pondok Pesantren Nuris Salafiyyah merupakan pondok salaf, sedangkan Ma'had An-Najaa Islamic Boarding School merupakan pondok modern yang didirikan guna mengikuti perkembangan zaman. Ma’had An-Najaa Islamic Boarding School tentunya berbeda dengan Boarding School pada umumnya, karena Ma’had An-Najaa Islamic Boarding School ini dinaungi oleh Yayasan Pondok Pesantren, sedangkan Boarding School pada umumnya merupakan sekolah asrama, bukan sebuah lembaga yang dinaungi oleh pondok pesantren. Dari artinya saja bisa dapat disimpulkan bahwa Islamic Boarding School dan Boarding School itu berbeda. Pondok Pesantren Nuris Salafiyyah, berdiri pada tahun 1991 dan didirikan oleh Alm. KH. Ach. Imam Baidlowi Abdul Yusa’. Pada awal mulanya pesantren ini berdiri, para santri desa hanya me...